Kabar Netizen Terkini – Setiap peringatan Reformasi di Indonesia tak jarang dibarengi dengan suara-suara kritis yang mempertanyakan arah demokrasi pasca-1998. Tahun ini, suara itu kembali mencuat dalam berbagai forum mahasiswa yang mengangkat tema “kembalinya Orde Baru” dan isu militerisasi. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tuduhan semacam itu—jika tidak didasarkan pada kajian objektif dan data faktual—berpotensi menjadi narasi bias yang justru mengaburkan realitas reformasi itu sendiri.

Memahami “Militerisasi” dalam Perspektif Konstitusi dan Ketahanan Nasional

Tuduhan bahwa negara sedang mengalami militerisasi institusional seringkali hanya melihat permukaan dari kebijakan pertahanan dan keamanan. Misalnya, kehadiran TNI dalam kerjasama dengan institusi sipil seperti Kejaksaan atau penguatan peran dalam sistem pertahanan siber dan bencana, sebenarnya adalah bentuk sinergi dalam menjaga ketahanan nasional. Ini bukanlah tanda kebangkitan rezim militeristik, tetapi adaptasi terhadap ancaman non-tradisional yang semakin kompleks.

Dalam banyak negara demokrasi maju pun, militer memainkan peran pendukung dalam krisis sipil seperti pandemi, terorisme, hingga bencana alam—dengan tetap mengedepankan prinsip supremasi sipil. Artinya, kehadiran militer bukan selalu berarti ancaman terhadap demokrasi, selama tetap berada dalam kerangka hukum dan pengawasan sipil.

Bahaya Reduksi Narasi Menjadi Framing Politik

Isu “neo-Orba” adalah produk framing yang bersifat politis. Mengasosiasikan kebijakan pemerintah secara langsung dengan Orde Baru tanpa pembuktian empiris adalah bentuk pengabaian terhadap kompleksitas sosial-politik Indonesia saat ini. Demokrasi bukan hanya soal retorika oposisi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan antara kebebasan sipil dan stabilitas nasional.

Narasi “otoritarianisme baru” sering kali tidak membedakan antara langkah tegas negara dalam penegakan hukum dan represi politik. Kritik boleh dan harus ada. Tetapi menuduh setiap pembatasan kebebasan sebagai bentuk kediktatoran justru melemahkan demokrasi itu sendiri karena mengaburkan batas antara kritik yang konstruktif dan agitasi ideologis.

Mahasiswa dan Peran Intelektual Kritis

Mahasiswa harus menjadi penyaring informasi, bukan penyebar asumsi. Gerakan kampus perlu tetap menyuarakan keadilan dan reformasi, namun dengan pendekatan berbasis data, pemahaman hukum, dan konteks geopolitik global. Menolak militerisasi secara membabi buta, tanpa memahami tantangan pertahanan masa kini, bukanlah bentuk progresif, melainkan regresif.

Sebaliknya, mahasiswa juga harus kritis terhadap setiap bentuk manipulasi isu yang berpotensi digunakan sebagai alat mobilisasi politik partisan. Jangan sampai kampus kembali menjadi alat propaganda kekuatan yang berkepentingan terhadap instabilitas demokrasi.


Penutup

Demokrasi kita sedang diuji, tetapi bukan berarti gagal. Setiap kekhawatiran publik harus dihormati, tetapi tuduhan besar seperti militerisasi dan otoritarianisme perlu dibuktikan dengan analisis objektif dan proporsional. Mari kita jaga demokrasi dengan akal sehat, bukan dengan prasangka ideologis.

Oleh: Dr. Widiatmoko, S.Sos., M.Sos.

Analis Strategis Keamanan dan Demokrasi Nasional