Kabar Netizen Terkini – Kasus sengketa tanah seluas 48,5 hektar milik Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Mabes TNI di Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, terus berlarut-larut dan memunculkan dinamika hukum yang melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum dan masyarakat. Proses penyelesaian sengketa ini, yang berawal dari dugaan pemalsuan girik, kini mencapai titik konflik yang semakin rumit dengan keterlibatan organisasi masyarakat (Ormas) dan kelompok yang mengaku sebagai ahli waris.

Pengaduan Masyarakat dan Langkah-Langkah Hukum

Pada 2 September 2022, masyarakat melaporkan dugaan pemalsuan girik terhadap lahan milik Mabes TNI ke Satgas Mafia Tanah Bareskrim Polri. Laporan ini kemudian ditindaklanjuti pada 14 Maret 2023 dengan pembuatan laporan polisi dari Staf Denma Mabes TNI. Penyidik Bareskrim Polri pun mulai melakukan pemeriksaan terhadap berbagai saksi, termasuk H. Dani Bahdani, yang diduga terlibat dalam perkara ini.

Pada Februari 2024, Kejaksaan Agung melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi dengan terdakwa H. Dani Bahdani yang ditahan sejak penyidikan. Namun, proses persidangan yang berlangsung antara Februari hingga Juni 2024 berakhir dengan vonis yang cukup mengejutkan. Pada 14 Agustus 2024, Majelis Hakim PN Kota Bekasi memutuskan untuk membebaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum karena dinilai tidak terbukti secara sah melakukan pemalsuan dokumen.

Proses Banding dan Kasasi

Tidak puas dengan putusan tersebut, Mabes TNI mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi pada November 2024, namun banding tersebut ditolak dan menguatkan keputusan PN Kota Bekasi. Tak menyerah, Mabes TNI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Desember 2024. Pada 28 Februari 2025, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan PN Kota Bekasi, serta menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada H. Dani Bahdani, yang terbukti terlibat dalam pemalsuan dokumen tanah.

Aksi Protes dari Ahli Waris dan Ormas

Di tengah perjalanan hukum yang penuh liku ini, pada 4 Juli 2025, Denma Mabes TNI mulai melaksanakan pembangunan Pos Jaga di lahan yang kini masih berstatus sengketa. Namun, sejumlah individu yang mengaku sebagai ahli waris, seperti Sdr. Jayadi dan Sdr. Sadan, bersama Ormas Garda Prabowo, mengajukan keberatan terhadap pembangunan tersebut. Mereka menyarankan penundaan pembangunan untuk menjaga citra TNI dan mencegah potensi konflik lebih lanjut.

Pada 6 Juli 2025, sekitar 26 orang yang mengaku sebagai ahli waris melakukan orasi, pendudukan area proyek, dan pemasangan blokade di akses masuk tanah tersebut. Puncaknya, pada 15 Juli 2025, Bob Sesep Mulyana, Ketua DKD Jabar Garda Prabowo, mengungkapkan bahwa mereka akan mendampingi para ahli waris tanah Jatikarya, atas arahan langsung dari Ketum Kolonel (Purn) Fauka Noor Farid.

Dialog dan Penundaan Pembangunan

Upaya meredam potensi bentrokan akhirnya dilakukan dengan dialog antara Mabes TNI dan kelompok yang mengaku sebagai ahli waris pada 21 Juli 2025. Dalam dialog tersebut, disepakati bahwa pembangunan Pos Jaga akan dihentikan sementara waktu untuk menghindari eskalasi konflik yang lebih besar.

Sengketa tanah yang berlarut-larut ini menggambarkan betapa kompleksnya masalah hukum yang melibatkan aset negara, di satu sisi, dan klaim pihak ketiga yang mengaku sebagai pemilik sah tanah tersebut, di sisi lain. Konflik ini tidak hanya berkaitan dengan masalah hukum semata, tetapi juga menyentuh masalah keamanan yang melibatkan ormas dan masyarakat setempat.

Ke depan, penyelesaian sengketa ini akan membutuhkan kebijakan yang bijak dan adil, serta upaya koordinasi antara pihak terkait untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas.