TANGERANG – Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah utara Kabupaten Serang dan Tangerang belakangan kembali mencuat. Pemerintah Provinsi Banten dikabarkan tengah menggodok rencana ini sebagai bagian dari agenda pemekaran wilayah demi pemerataan pembangunan. Namun, suara-suara kritis mulai bermunculan, khususnya dari masyarakat pesisir dan tokoh-tokoh lokal yang melihat adanya kemiripan antara arah kebijakan DOB ini dengan proyek strategis nasional (PSN) PIK-2 yang hingga kini masih menyisakan kontroversi.
Kemiripan Pola Wilayah: Wilayah Pesisir Kembali Jadi Sasaran
Rencana DOB ini menyasar kawasan pesisir utara yang sebelumnya menjadi titik konflik dalam ekspansi megaproyek PIK-2. Di wilayah ini, masyarakat nelayan, petani tambak, dan komunitas adat telah lama mengalami tekanan akibat pembangunan berskala besar yang tidak berpihak pada keberlanjutan hidup mereka. Kini, kekhawatiran mereka kembali muncul: apakah DOB akan menjadi skema baru untuk memperlancar proses pengambilalihan lahan atas nama legalitas administratif?
Secara geografis dan sosiologis, wilayah yang ditargetkan untuk DOB memiliki karakteristik yang sama dengan area terdampak PIK-2—padat penduduk, kaya sumber daya pesisir, namun lemah dalam perlindungan tata ruang berbasis keadilan ekologis. Belum lagi, sebagian besar kawasan tersebut tengah mengalami proses negosiasi lahan yang pelik antara warga dan pihak pengembang.
Pendekatan Top-Down: Narasi Pembangunan Tanpa Partisipasi Publik
Salah satu kritik paling tajam terhadap wacana DOB ini adalah minimnya partisipasi publik. Sama seperti PIK-2, rencana pemekaran wilayah ini dinilai sarat pendekatan top-down. Narasi yang dibangun didominasi oleh jargon-jargon pertumbuhan ekonomi, investasi, dan daya saing daerah, namun luput mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang mungkin terjadi.
Masyarakat pesisir merasa kembali diabaikan. Tidak ada forum dengar pendapat yang terbuka, tidak ada transparansi peta wilayah yang akan dimekarkan, dan tidak ada jaminan perlindungan terhadap ruang hidup tradisional. Padahal, pengalaman dari proyek PIK-2 menunjukkan bagaimana kebijakan yang disusun tanpa keterlibatan warga dapat berujung pada konflik berkepanjangan, kriminalisasi warga, hingga krisis ekologi.
Risiko Strategis: Ketimpangan dan Konflik Berkepanjangan
Jika dibiarkan tanpa pengawasan publik, rencana DOB ini berpotensi menjadi “PIK-2 Jilid 2” dalam kemasan administratif. Dengan legalitas DOB, pengembang akan lebih mudah mendapatkan akses lahan dan izin investasi, sementara masyarakat lokal kembali tersingkir dari proses pembangunan yang seharusnya untuk mereka.
Dari perspektif strategis, risiko ini bukan hanya soal agraria atau ekologi, tetapi menyentuh kepercayaan masyarakat terhadap negara. Jika negara kembali memaksakan kebijakan yang sarat konflik kepentingan, maka DOB dapat menjadi sumbu ketegangan baru, tidak hanya antara warga dan pemerintah, tapi juga antarkelompok sosial yang berebut ruang dan identitas.
Harus Ada Evaluasi Menyeluruh dan Keterlibatan Publik
Sudah saatnya pemerintah belajar dari pengalaman proyek-proyek terdahulu yang lebih banyak menyisakan luka daripada kemajuan. Jika memang pembentukan DOB adalah kebutuhan objektif demi pelayanan publik, maka seluruh prosesnya harus dibuka seluas mungkin kepada masyarakat—terutama mereka yang selama ini paling terdampak pembangunan.
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga lokal bukan pilihan, tapi syarat mutlak agar DOB tidak menjadi alat baru para pemodal untuk memperluas cengkeraman atas tanah rakyat. Pembangunan yang adil tidak lahir dari pemekaran wilayah semata, tetapi dari penghormatan terhadap hak hidup dan masa depan komunitas yang telah lama menjaga ruang-ruang pesisir Banten.