JAKARTA – kabarnetizenterkini.com | Presiden Kolombia, Gustavo Petro, kembali menyuarakan kecaman keras terhadap serangan Israel di Jalur Gaza dengan pernyataan yang menggugah. Dalam momen Pekan Suci yang penuh refleksi, Petro membandingkan penderitaan rakyat Palestina dengan kisah sengsara Yesus Kristus.

“Pada masa Kesengsaraan dan Wafat Yesus Kristus, mari kita merefleksikannya terhadap rakyat Palestina, negeri tempat Dia berasal, yang saat ini dirundung genosida berdarah,” tulis Petro di akun X (dulu Twitter), Jumat (18/4/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Petro sebagai tanggapan atas kabar menyedihkan tentang Dr. Hossam Abu Safiya, seorang dokter Palestina dan Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza Utara. Ia dilaporkan mengalami kondisi kritis dalam tahanan Israel setelah dituduh mengalami penyiksaan berat oleh pasukan Zionis.

Beberapa organisasi pembela hak asasi manusia dan media lokal menyampaikan kekhawatiran atas memburuknya kondisi Dr. Safiya sejak penahanannya awal tahun ini. Mereka menyebut bahwa dokter tersebut telah menjadi korban perlakuan tidak manusiawi yang melanggar hukum internasional.

Gustavo Petro, yang dikenal sebagai pemimpin Amerika Latin yang vokal mendukung Palestina, sebelumnya telah menyebut agresi militer Israel sebagai kejahatan perang. Pernyataannya selama Pekan Suci kali ini semakin menggarisbawahi kritiknya yang tajam terhadap apa yang ia sebut sebagai bentuk genosida terhadap warga sipil Gaza.

Sementara itu, pemerintah Israel menampik tuduhan genosida dan menyatakan bahwa operasi militer mereka hanya menargetkan kelompok militan Hamas, bukan warga sipil atau tenaga medis. Namun, laporan korban sipil yang terus bertambah, termasuk anak-anak dan petugas kemanusiaan, semakin memicu kecaman dari komunitas internasional.

Petro, dalam beberapa kesempatan, bahkan sempat membandingkan penderitaan warga Palestina dengan sejarah kolonialisme dan penindasan terhadap bangsa-bangsa di Amerika Latin. Ia menyerukan agar dunia internasional tidak tinggal diam terhadap penderitaan yang terjadi di Palestina.

Dengan narasi yang kuat dan simbolik, Petro menjadikan momen religius sebagai panggung solidaritas global, sekaligus sebagai seruan moral kepada negara-negara lain agar bersuara lebih tegas dalam menolak kekerasan terhadap rakyat Palestina.