Jakarta, 17 Juni 2025 – PT Astra Infra Toll yang mengelola ruas tol Cipali kembali jadi sorotan. Meski telah melakukan perbaikan infrastruktur dan memberikan ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi akibat kerusakan jalan, perusahaan ini tetap menghadapi tekanan bertubi-tubi dari kelompok masyarakat yang mengatasnamakan kepedulian terhadap keselamatan jalan tol.
Informasi yang diterima redaksi pada Senin (16/6), melalui komunikasi langsung dengan Bapak Bambang, Bistel Officer dari Kantor Pusat Astra di Menara Astra, menyebutkan bahwa tekanan tersebut datang dari sekelompok massa yang disebut berasal dari kawasan Timur—dengan dugaan kuat merupakan jaringan kelompok Ambon. Kelompok ini tidak hanya mengajukan kritik, tetapi juga melakukan somasi, mendesak audiensi, hingga mengancam gugatan hukum kepada pihak PT Astra Honda Motor (AHM), meskipun AHM bukan pihak pengelola tol.
“Masalah utama sebenarnya sudah ditindaklanjuti, mulai dari perbaikan jalan berlubang hingga tanggung jawab kepada korban. Tapi tuntutan terus berlanjut, bahkan diarahkan ke PT AHM yang tidak memiliki relevansi langsung,” jelas Bambang dalam percakapan tersebut.
Yang menjadi perhatian, aksi yang diawali dengan dalih advokasi keselamatan berubah menjadi pola tekanan terstruktur. Dalam penilaian manajemen Astra, gerakan ini mengandung indikasi praktik premanisme terselubung: menggunakan narasi sosial untuk menekan korporasi besar melalui saluran legal seperti somasi, namun dengan intensitas dan gaya yang mengarah pada intimidasi nonformal.
“Modus seperti ini bukan hal baru. Legalitas dijadikan topeng untuk melancarkan tekanan yang sebenarnya sarat muatan informal. Kalau tidak hati-hati, ini bisa menciptakan preseden buruk bagi dunia usaha,” tambah Bambang.
Pola tekanan sosial semacam ini, yang menggabungkan narasi kepedulian publik dengan pendekatan khas organisasi massa atau kelompok jalanan, dinilai berbahaya. Selain mencoreng semangat advokasi publik yang murni, hal ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap keamanan iklim usaha di ibu kota.
Perlu ada investigasi lebih lanjut oleh otoritas hukum untuk memetakan apakah gerakan ini murni berasal dari aspirasi warga, atau justru menjadi bagian dari jaringan tekanan yang menjadikan isu sosial sebagai alat negoisasi sepihak.