Tangerang – Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di wilayah Banten, meski telah resmi dicabut dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), ternyata tidak menghentikan ambisinya untuk terus berekspansi. Di balik berbagai kegiatan sosial dan program ‘humanis’ yang digelar pengembang, tersimpan kecemasan mendalam masyarakat pesisir: hilangnya ruang hidup, rusaknya ekosistem, dan penguasaan lahan besar-besaran yang terjadi senyap—tanpa transparansi dan akuntabilitas publik.
Berdasarkan hasil penelusuran tim jurnalis di lapangan, dalam dua bulan terakhir, PIK 2 justru semakin aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan yang diklaim sebagai bagian dari “pembangunan inklusif”. Mulai dari pelatihan satuan pengamanan bekerja sama dengan Disnaker, hingga festival wisata seperti The Big Bounce dan Summer Invasion 2025 yang digelar meriah di Community Park PIK 2. Tidak hanya itu, sejumlah komunitas keagamaan dan pendidikan pun dilibatkan dalam agenda roadshow dan promosi proyek properti.
Namun pertanyaannya: apakah pesta ini menutupi luka yang belum sembuh?
Strategi Citra dan Realitas Lapangan
Aktivis lingkungan Roy Suherman, dari Koalisi Rakyat Banten Melawan, mengungkap bahwa kegiatan bertema sosial dan kolaboratif tersebut pada dasarnya adalah “strategi pencitraan” untuk meredam resistensi warga dan mematikan kritik. “Ini bukan solusi, tapi kosmetik,” tegasnya.
Di sisi lain, fakta-fakta di lapangan justru mengkhawatirkan. Per Juli 2025, pengembang dikabarkan telah menguasai antara 600 hingga 1.000 hektar lahan di wilayah Pontang, Tanara, dan Tirtayasa dari target total 6.700 hektar. Sebagian besar lahan disebut baru dibayar uang muka (down payment), sehingga status kepemilikannya masih kabur dan memicu ketidakpastian sosial di tingkat akar rumput.
Reklamasi dan Ekologi yang Terancam
Rencana reklamasi besar-besaran untuk keperluan pelabuhan, industri, dan pemukiman telah menyasar kawasan pesisir yang selama ini menjadi ruang hidup bagi ribuan nelayan tradisional. Di saat bersamaan, terdapat proposal untuk mengubah 1.600 hektar hutan lindung menjadi hutan produksi demi menunjang ekspansi PIK 2.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta DPR RI bahkan telah menolak usulan ini secara terbuka. Namun di lapangan, pengerjaan terus berjalan. Penanaman mangrove yang dilakukan pengembang pun dianggap hanya sebagai “pemoles wajah proyek”—sebab yang rusak jauh lebih luas dan sistemik daripada yang mereka tanam kembali.
Negara Diam, Rakyat Terpinggirkan
Yang lebih mengkhawatirkan, adalah sikap negara yang terlihat permisif dan pasif terhadap konflik ruang yang kian tajam. Tidak ada penegasan terhadap praktik pembebasan lahan yang tidak transparan. Tidak ada mekanisme korektif atas rusaknya kawasan pesisir yang vital secara ekologis.
Negara seolah membiarkan pengembang bertransformasi dari “pembangun kawasan” menjadi “penguasa ruang hidup” tanpa kendali. Ironisnya, proyek sebesar ini bahkan tidak lagi berstatus PSN, namun daya rusaknya terhadap masyarakat dan alam tetap berlangsung seperti tak tersentuh hukum.
Catatan Kritis
Sebagai jurnalis yang telah mengamati dinamika pembangunan di wilayah pesisir selama dua dekade terakhir, saya melihat pola yang berulang: proyek besar selalu datang membawa mimpi, namun kerap mengorbankan mereka yang paling lemah. Hari ini, masyarakat pesisir Banten bukan sedang menikmati kemajuan, tapi menghadapi ancaman eksistensial—atas tanah, laut, dan warisan leluhur mereka.
PIK 2 bukan hanya soal investasi dan infrastruktur. Ini tentang keadilan ruang. Jika negara tetap bungkam dan DPRD tak kunjung bersuara, maka rakyat hanya tinggal menunggu giliran untuk tergusur secara “legal” dari tanahnya sendiri.
Editor: Artikel ini ditulis dengan semangat keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan ekologis. Redaksi membuka ruang klarifikasi bagi pihak pengembang PIK 2 dan pemerintah daerah/provinsi untuk menanggapi secara terbuka.