Kabar Netizen Terkini – Deru pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK-2 yang membentang dari pesisir utara Jakarta hingga Banten terus menuai gelombang penolakan. Namun menariknya, unjuk rasa dan suara perlawanan justru lebih riuh terdengar di kawasan pinggiran seperti Desa Kohod dan Alar Giban, Kabupaten Tangerang bukan di pusat kekuasaan Jakarta. Mengapa?
Hasil penelusuran tim investigasi menunjukkan bahwa akar konflik di wilayah ini bukan semata soal harga tanah atau kompensasi, melainkan menyentuh urat nadi keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.
Perlawanan Ekonomi atau Simbol Kedaulatan?
Motivasi awal warga Kohod tampak pragmatis mereka memperjuangkan kenaikan harga tanah dan bangunan sebagai bentuk penyesuaian terhadap nilai lahan yang terus melonjak akibat proyek PIK-2. “Kalau relokasi harus terjadi, ya jangan rugikan kami,” ujar seorang warga, sambil menunjukkan bukti kepemilikan rumah yang telah ditempatinya sejak 1990-an.
Namun, narasi perlawanan kini telah bergeser. Suara lantang banyak justru datang dari kelompok warga luar Kohod yang tidak terdampak langsung. Mereka menyuarakan isu lebih besar: penolakan terhadap hegemoni oligarki yang dianggap merampas tanah rakyat atas nama pembangunan. Dalam pandangan mereka, tanah bukan sekadar komoditas, melainkan simbol eksistensi, identitas, dan kedaulatan.
Intimidasi dan Retaknya Kepercayaan
Ketegangan semakin meruncing ketika beberapa warga dan aktivis menyatakan mengalami intimidasi oleh aparat keamanan. Laporan soal pemanggilan mendadak, patroli aparat ke rumah-rumah warga, hingga ancaman verbal mulai beredar. Situasi ini menciptakan distrust yang mendalam terhadap negara.
“Bukannya dilindungi, kami justru merasa dikepung,” ucap seorang aktivis lokal yang menolak disebutkan namanya. Citra institusi penegak hukum dipertaruhkan. Jika pendekatan koersif ini terus dibiarkan tanpa evaluasi dan transparansi, negara akan kehilangan legitimasi moralnya di mata rakyat.
Pembangunan Tanpa Keadilan?
Kasus di Kohod dan Alar Giban menggambarkan wajah buram dari pembangunan nasional yang kerap melupakan aspek keadilan struktural. Relokasi yang dianggap sepihak, kompensasi yang tidak manusiawi, hingga keterlibatan aparat desa dan korporasi yang diduga menyalahgunakan wewenang memperparah situasi.
“Kalau memang ini proyek nasional, mengapa rakyat kecil dikorbankan? Mengapa tidak ada ruang dialog?” keluh tokoh masyarakat setempat.
Mengapa Gerakan Tak Sampai ke Jakarta?
Meski konflik menyentuh isu nasional, gerakan perlawanan tetap terkurung di wilayah Banten. Minimnya dukungan logistik, keterbatasan jejaring aktivis nasional, dan pengondisian politik-keamanan di ibu kota menjadi penyebab utama. Belum lagi, isu ini belum berhasil menembus arus utama media nasional.
Padahal, akar masalah menyangkut hajat hidup ribuan rakyat dan arah kebijakan negara ke depan.
Solusi: Membangun Poros Perlawanan Nasional
Untuk mencegah konflik berulang dalam proyek strategis lain, perlu ada penguatan aliansi lintas daerah, pelibatan mahasiswa dan LSM di Jakarta, serta advokasi berbasis data yang sistematis ke DPR RI dan kementerian terkait. Hanya dengan cara itu, isu seperti PIK-2 bisa melampaui sekat wilayah dan menjadi isu kebangsaan.
Menjadikan konflik Kohod sebagai alarm nasional adalah langkah awal untuk membangun ulang wajah pembangunan Indonesia yang adil, partisipatif, dan menghormati kedaulatan rakyat.