Banten, 16 Juli 2025 – Penangkapan Mahesa Albantani alias Saepudin, seorang influencer vokal dan aktivis penolak proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2), menimbulkan gelombang perhatian dari berbagai kalangan. Ditangkap pada 12 Juli 2025 dini hari di Serang oleh Polda Banten, Mahesa langsung ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran UU ITE menyusul laporan dari KH. Martin Syarkowi, tokoh NU berpengaruh di Banten.
Namun di balik proses hukum yang tampak sah, banyak pihak melihat adanya indikasi pembungkaman terhadap suara kritis yang selama ini aktif mengungkap potensi ancaman di balik proyek PIK-2—sebuah megaproyek reklamasi yang menuai kontroversi dari aspek lingkungan, sosial, dan kedaulatan ruang hidup masyarakat.
“Penangkapan ini bukan hanya soal video berdurasi 51 detik. Ini soal bagaimana negara merespons suara rakyat yang menolak perampasan ruang hidup,” ungkap salah satu aktivis yang enggan disebutkan namanya.
PIK-2: Megaproyek, Megarisiko
PIK-2 bukan sekadar proyek properti, tapi simbol dari ketimpangan struktural yang diselimuti narasi investasi. Proyek ini dituding merusak kawasan pesisir, mengganggu ekosistem, dan menggusur wilayah adat serta ruang hidup nelayan lokal. Penolakan Mahesa Albantani bukan tanpa dasar; ia aktif menyuarakan keresahan warga, membongkar kepentingan korporasi di balik proyek yang disebut-sebut memiliki afiliasi dengan kekuatan elite nasional.
Sejumlah pengamat juga menilai PIK-2 sebagai bentuk kolonisasi ruang atas nama pembangunan. “Negara harus melihat suara seperti Mahesa sebagai alarm, bukan ancaman,” tegas Ustadz Kurtubi yang hari ini dijadwalkan menjenguk Mahesa di Mapolda Banten bersama sejumlah aktivis.
Potensi Mobilisasi Akar Rumput
Penangkapan Mahesa berpotensi memicu konsolidasi gerakan perlawanan yang selama ini tersebar dalam berbagai elemen lokal seperti KSB, FU-ATMB, dan ormas-ormas akar rumput lainnya. Jika tidak dikelola secara bijak, situasi ini dapat berkembang menjadi resistensi sosial yang lebih luas terhadap kehadiran proyek PIK-2 di tanah Banten.
Aktivis melihat Mahesa bukan sekadar individu, tapi simbol dari perjuangan yang lebih besar: menjaga ruang hidup, hak masyarakat adat, dan menjaga integritas demokrasi dari penetrasi korporatisme.
Penutup: Saat Suara Rakyat Diadili
Kasus Mahesa Albantani adalah pengingat bahwa pembangunan yang mengabaikan suara masyarakat hanya akan menghasilkan konflik dan luka sejarah. Ketika influencer dan aktivis seperti Mahesa ditangkap karena menyuarakan kebenaran, maka yang terancam bukan hanya individu—tetapi prinsip dasar demokrasi itu sendiri.