Kabar Netizen Terkini – Wacana soal “kebangkitan Orde Baru” kembali jadi topik hangat di kalangan mahasiswa menjelang peringatan 27 tahun Reformasi. Sejumlah diskusi publik di kampus terutama yang digelar oleh elemen Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ramai mengangkat isu militerisasi, pembatasan ruang sipil, hingga tudingan otoritarianisme baru.

Namun, tak sedikit yang menilai narasi tersebut terlalu simplistik dan bisa menyesatkan opini publik.

“Kita perlu kritis, tapi jangan sampai terjebak dalam mitos,” kata Dr. Widiatmoko, S.Sos., M.Sos., analis sosial-politik dan demokrasi nasional, saat dimintai tanggapan, Minggu (19/5/2025).

Menurutnya, label “Orba Baru” yang sering ditempelkan pada kebijakan pemerintah saat ini cenderung tidak berdasar dan lebih bernuansa politis daripada faktual.

“Negara mengambil langkah tegas bukan berarti kembali ke era otoriter. Konteks zaman sudah berbeda. Indonesia punya pemilu langsung, pers bebas, masyarakat sipil aktif. Ini semua tidak mungkin terjadi di sistem Orde Baru,” tegasnya.

Polarisasi di Kampus, Kritik atau Propaganda?

Lebih lanjut, mengingatkan bahwa narasi “neo-Orba” di kalangan mahasiswa bisa berisiko menciptakan polarisasi yang tajam.

“Yang tidak setuju langsung dicap pro status quo. Yang bersuara keras disebut pejuang reformasi. Ini pola pikir blok politik, bukan diskusi akademik,” ujarnya.

Ia menilai, ruang dialog di kampus justru bisa menyempit jika narasi-narasi seperti ini tidak dilandasi data dan perspektif seimbang. Bahkan, dalam beberapa kasus, isu militerisasi atau pembatasan dianggap terlalu cepat dibaca sebagai bentuk represi, padahal seringkali merupakan respons negara atas ancaman nyata seperti disinformasi, radikalisme, hingga instabilitas sosial.

Waspada Manipulasi Isu demi Agenda Politik

Tak hanya itu, juga menyoroti potensi manipulasi isu oleh aktor politik di luar kampus.

“Bisa saja keresahan mahasiswa ini ditunggangi. Digiring jadi kekuatan politik tandingan tanpa sadar,” tambahnya.

Menurutnya, mahasiswa perlu menjaga independensinya agar tetap menjadi penjaga akal sehat demokrasi, bukan menjadi alat propaganda pihak-pihak berkepentingan.

Solusi: Kritik Konstruktif dan Rasional

Sebagai solusi, ia mendorong agar kritik terhadap pemerintah dilakukan secara obyektif dan rasional. Perbedaan antara kebijakan tegas dan represi politik harus dipahami secara mendalam.

“Kita bisa tidak setuju, tapi jangan langsung menyebar label. Demokrasi bukan soal mencurigai segalanya, tapi menilai dengan akal sehat,”.