Lippo Cikarang, 23 Juli 2025 — Polemik penutupan akses jalan menuju jembatan penyeberangan eretan di kawasan Lippo Cikarang kembali mencuat. Dua organisasi Karang Taruna dari Desa Danau Indah dan Desa Sukaresmi kompak melayangkan surat keberatan kepada manajemen PT. Lippo Cikarang pada awal hingga pertengahan Juli 2025. Mereka mendesak agar akses jalan yang telah ditutup sekitar setahun lalu dibuka kembali, dengan alasan demi kelancaran aktivitas warga dan karyawan, serta menghindari kemacetan di kawasan industri.

Dalam surat bertanggal 8 Juli 2025, Ketua Karang Taruna Danau Indah, Enon Supriyadi, meminta pihak perusahaan memindahkan titik akses jalan lama ke lokasi baru yang dapat digunakan warga. Hal serupa dilakukan oleh Wakil Ketua Karang Taruna Desa Sukaresmi, Edi Junaedi, dalam surat tertanggal 15 Juli 2025 yang juga menekankan urgensi pembukaan akses demi kemaslahatan warga Desa Sukaresmi dan Sukadanau.

Namun, di balik narasi kepentingan masyarakat, muncul temuan yang patut menjadi perhatian publik. Berdasarkan informasi yang dihimpun, akses menuju jembatan eretan tersebut diduga dimanfaatkan secara komersial oleh pihak-pihak tertentu. Setiap kendaraan roda dua yang melintas dikenakan biaya sebesar Rp5.000 dan pejalan kaki Rp2.000. Dalam sehari, jumlah kendaraan dan pengguna yang melintas bisa mencapai ratusan, menciptakan potensi pendapatan yang signifikan. Hal ini memunculkan tanda tanya besar: apakah permintaan pembukaan akses benar-benar demi warga, atau justru demi keuntungan kelompok tertentu?

Lebih jauh, beredar informasi bahwa selama jembatan tersebut aktif, ada indikasi aliran setoran kepada oknum di tingkat kepolisian setempat. Dugaan pengondisian ini mengaburkan batas antara kepentingan publik dan praktik-praktik tidak sehat dalam pengelolaan ruang publik.

Sementara itu, pihak manajemen PT. Lippo Cikarang menegaskan sikap tegas untuk tetap menutup akses jalan dengan alasan keamanan. Mereka menyatakan bahwa pembukaan akses dapat merusak pagar pembatas kawasan industri dan membuka potensi kerawanan. Selain itu, jalur resmi bagi warga dan karyawan disebut telah disediakan dan disepakati bersama sebelumnya.

Kesimpulan:

Kasus ini mencerminkan kompleksitas tata kelola akses publik di tengah kepentingan industri, sosial, dan—yang tidak kalah penting—kepentingan bisnis terselubung. Ketika ruang akses publik dibalut dengan komersialisasi liar dan indikasi keterlibatan aparat, maka urgensi transparansi dan pengawasan menjadi mutlak. Jangan sampai nama masyarakat kembali hanya dijadikan tameng oleh segelintir pihak yang hendak mengamankan kepentingan pribadi. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus turun tangan dan memastikan tidak ada celah bagi praktik rente di ruang publik, terlebih di kawasan industri strategis seperti Lippo Cikarang.