Tangerang – Di tengah ambisi besar proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) yang diklaim sebagai bagian dari pengembangan kawasan elit dan Proyek Strategis Nasional (PSN), muncul suara penolakan dari masyarakat pesisir Banten. Salah satu tokoh sentral dalam gerakan ini adalah H. Heru Makdis Adhari, petambak sekaligus aktivis lingkungan yang kini menjadi simbol perlawanan warga lokal.
Menjaga Tambak, Menjaga Kehidupan
H. Heru telah mengelola lahan tambak seluas sekitar 5 hektar di Desa Kronjo, Kabupaten Tangerang, sejak beberapa tahun terakhir. Lahan itu bukan hanya menjadi sumber nafkah bagi keluarganya, tetapi juga menghidupi sekitar 19 tenaga kerja lokal setiap musim panen. Namun, dengan adanya rencana perluasan PIK-2, H. Heru dan masyarakat setempat khawatir lahan produktif mereka akan digusur tanpa kejelasan kompensasi.
“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi jangan sampai merampas kehidupan rakyat tanpa solusi yang adil,” ujar H. Heru dalam sebuah pertemuan masyarakat nelayan dan petambak di pesisir Kronjo.
PIK-2 dan Ancaman Ekologis di Pesisir Banten
Sebagai penggerak Kelompok Mangrove Pulau Cangkir (MAPUCA), H. Heru juga menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi kerusakan lingkungan akibat pengurukan kawasan pesisir dan tambak produktif. Ia menilai, ekosistem mangrove yang selama ini berperan sebagai penahan abrasi dan pendukung ekonomi lokal, terancam musnah jika proyek PIK-2 terus berlanjut tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa aktivitas proyek di sekitar wilayah konservasi telah mengubah struktur tanah dan memicu banjir rob, yang kerap merendam pemukiman warga serta kawasan tambak.
Bagian dari Gerakan “Banten Melawan”
Kiprah H. Heru tidak berhenti di urusan tambak dan lingkungan. Ia turut ambil bagian dalam aksi besar Banten Melawan yang digelar di Tugu Cangkir pada Mei 2025. Aksi itu mempertemukan elemen mahasiswa, ormas lokal, ulama, jawara Banten, hingga tokoh adat Kesultanan Banten.
Gerakan ini menuntut:
- Penghentian proyek PIK-2 yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat lokal
- Audit dan evaluasi terhadap proses pembebasan lahan
- Restitusi kerugian warga terdampak
- Penghentian kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang menyuarakan penolakan
Advokasi Rakyat dan Harapan Keadilan
Meski tidak dikenal sebagai orator utama, kehadiran H. Heru di berbagai forum penolakan menjadikannya simbol perjuangan warga pesisir. Ia menyuarakan gagasan kolektif tentang perlunya advokasi berbasis ekonomi produktif, pelestarian lingkungan, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan.
“Tanah ini bukan sekadar lahan, tapi bagian dari kehidupan dan harga diri kami sebagai warga pesisir,” tegasnya.
Kesimpulan: Pembangunan Harus Melibatkan Rakyat
Kisah H. Heru adalah refleksi nyata bahwa pembangunan tidak boleh berjalan secara sepihak. Proyek-proyek besar seperti PIK-2 harus mempertimbangkan aspek partisipasi masyarakat, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa itu, pembangunan hanya akan melahirkan konflik baru dan ketimpangan yang semakin lebar.
Jika suara seperti H. Heru terus diabaikan, maka yang tumbuh bukan kemajuan—melainkan ketidakadilan yang dilapisi beton dan menara-menara tinggi di atas tanah rakyat.