Jakarta, 14 Juli 2025 — Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan menggelar diskusi publik bertajuk “Prosedur Konstitusional Pemakzulan Wakil Presiden” di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Kegiatan yang dihadiri sekitar 50 peserta dari kalangan mahasiswa, aktivis, dan jurnalis ini turut menghadirkan sejumlah narasumber seperti pakar hukum tata negara Feri Amsari, mantan Hakim Konstitusi Dr. Maruarar Siahaan, serta pengamat politik Ray Rangkuti.
Acara tersebut menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden, serta menyebut keterlibatan Presiden Jokowi dalam pencalonan Gibran sebagai bentuk pelanggaran etika. Lebih jauh, GMNI secara terbuka menyerukan konsolidasi mahasiswa untuk mendesak pemakzulan Gibran Rakabuming Raka.
Namun, langkah GMNI ini menuai sorotan. Sejumlah pengamat menilai diskusi tersebut tidak lagi murni sebagai forum akademik, melainkan mengarah pada politisasi kampus dan radikalisasi wacana gerakan mahasiswa.
“Ini bukan sekadar kajian konstitusi, tetapi telah menjadi kendaraan agitasi politik yang berpotensi menggiring mahasiswa ke dalam pusaran konflik kekuasaan,” ujar seorang analis politik yang enggan disebutkan namanya.
Potensi Ancaman: Mobilisasi dan Erosi Legitimasi
Pengamat keamanan menyebut bahwa narasi pemakzulan yang terus digulirkan dapat memicu dua ancaman serius. Pertama, meningkatnya potensi mobilisasi massa di kalangan mahasiswa dan kelompok oposisi yang dapat mengganggu stabilitas ruang publik. Kedua, menguatnya persepsi krisis konstitusional yang dapat mempercepat erosi legitimasi pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama di tengah suasana politik yang masih dalam fase konsolidasi awal.