TANGERANG – Puluhan warga di Desa Muncung, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, menyampaikan keresahan terkait tindakan sepihak yang dilakukan oleh pihak pengembang proyek PIK 2. Tanah milik mereka diduga diuruk tanpa persetujuan atau proses jual-beli resmi terlebih dahulu.
Salah satu warga terdampak, Rajudin, mengungkapkan bahwa sekitar 9,5 hektare lahan milik orang tuanya turut diuruk pada pertengahan Agustus 2024, padahal tidak pernah ada niatan untuk menjual tanah tersebut. Ia menyebut setelah pengurukan dilakukan, perantara desa menawarkan harga Rp55 ribu per meter dengan dalih proyek tersebut termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN), meskipun faktanya bukan.
“Kami tidak pernah menjual, tapi tanah tiba-tiba diuruk. Imbasnya, sumber penghasilan hilang. Akhirnya sebagian warga merasa terpaksa menerima DP,” ungkapnya usai mengadu ke Ombudsman RI Perwakilan Banten, Senin (7/7/2025).
Menurut Rajudin, sebanyak 33 warga menerima uang muka dari pengembang, namun hanya sekitar 13 yang sudah menerima pelunasan. Sisanya, terutama 20 warga, enggan melanjutkan penjualan setelah mengetahui status proyek sebenarnya dan rendahnya harga yang ditawarkan.
Situasi ini memunculkan kekecewaan mendalam terhadap pemerintah yang dinilai abai terhadap perlindungan hak rakyat kecil. “Kami ingin negara hadir. Jangan biarkan kami berjuang sendiri menghadapi pengembang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kondisi terkini di lapangan, di mana lahan yang sudah diuruk dibiarkan terbengkalai, sementara aktivitas pertanian dan perikanan masyarakat lumpuh total. Kejelasan soal ganti rugi pun masih menggantung.
Dalam kesempatan yang sama, Kholid Mikdar, aktivis yang dikenal vokal dalam penolakan proyek PIK 2, menyatakan tekadnya untuk terus melawan praktik perampasan lahan. Ia menuding keterlibatan 22 kepala desa dari wilayah pesisir Kabupaten Tangerang hingga Kabupaten Serang sebagai perantara penjualan lahan kepada pengembang.
“Kami tidak akan mundur. Ini bukan sekadar soal tanah, ini soal martabat rakyat,” tegas Kholid.