Kabar Netizen Terkini – Di balik megahnya rencana pengembangan kawasan elit Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) yang menjanjikan wisata kelas atas dan investasi jumbo, terdapat cerita pilu dari masyarakat pesisir utara Banten—tepatnya di Pantai Citius, Desa Sukawali, Kabupaten Tangerang. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan pelaku yang selama ini berjuang hidup dari denyut nadi kawasan pesisir yang mereka kelola sendiri, tanpa sokongan modal besar atau dukungan pemerintah pusat.

Sejak tahun 2018, Sdr. Mamat, seorang penggerak wisata sekaligus aktivis lingkungan, dengan segala keterbatasannya mulai menata Pantai Citius. Kala itu, kawasan tersebut hanyalah lahan sedimentasi dan tambak mangkrak milik Perhutani yang nyaris terlupakan. Dengan tekad kuat, ia membangun akses jalan, fasilitas umum, hingga memantik kehidupan ekonomi warga lewat kios dan UMKM. Kini, Pantai Citius bukan sekadar ruang wisata alternatif, tetapi lambang kemandirian masyarakat pesisir.

Namun, harapan itu mulai terancam. Proyek PIK-2 yang terus meluas membawa kekhawatiran besar. Jika izin pengelolaan kawasan pesisir sepenuhnya jatuh ke tangan segelintir korporasi, maka wisata rakyat seperti Pantai Citius nyaris pasti terpinggirkan. Lebih dari sekadar tanah, yang dipertaruhkan adalah hak hidup, identitas lokal, dan keberlangsungan ekonomi warga yang telah dibangun dari nol.

Keresahan warga bukan tanpa dasar. Pengurukan lahan yang dilakukan dalam rangka proyek PIK-2 telah mengubah morfologi kawasan pesisir, menyebabkan perbedaan tinggi muka tanah, dan memperparah ancaman banjir rob yang kini rutin menerjang permukiman dan kawasan dermaga. Tumpukan sampah dan terganggunya ekosistem mangrove menjadi bukti bahwa pembangunan yang disebut “strategis” itu tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan.

Tak hanya itu, konflik horizontal pun mulai muncul. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Citius mengaku tak lagi dilibatkan oleh Pemerintah Desa Sukawali dalam pengelolaan wisata maupun pembagian retribusi pantai. Padahal, mereka yang merintis dan membenahi kawasan tersebut sejak awal. Ketika peran rakyat mulai dikesampingkan dalam pengambilan keputusan, saat itulah benih perlawanan tumbuh.

Kini, masyarakat Citius bersama warga Encle telah menyatakan sikap: mereka menolak pengembangan proyek PIK-2 di wilayah mereka. Bukan karena anti-pembangunan, melainkan karena pembangunan yang tidak melibatkan rakyat adalah bentuk kolonialisme gaya baru.

Masyarakat pesisir bukan objek pasif dari proyek-proyek ambisius negara. Mereka punya hak untuk didengar, hak untuk mengelola ruang hidupnya, dan hak untuk tidak dikorbankan atas nama investasi.

Jika pemerintah tak segera bertindak adil dan inklusif, bukan hanya gelombang laut yang akan datang ke pesisir utara Banten tapi gelombang perlawanan yang lahir dari ketidakadilan dan pengingkaran atas hak rakyat.