Kabar Netizen Terkini – Adian Napitupulu, politisi PDI Perjuangan, selama ini dikenal sebagai sosok vokal yang konsisten membela rakyat kecil. Ia tampil dengan gaya sederhana, bicara lantang, dan kerap mengusung isu ketidakadilan sosial, dari parlemen hingga jalanan. Namun, di balik citra “pejuang rakyat”, terselip sisi lain yang menggugah pertanyaan: seberapa konsisten idealismenya ketika berhadapan dengan kepentingan?

Tertidur di Paripurna: Simbol Ironic dari “Pejuang” yang Lengah

Pada November 2014, publik dihebohkan dengan beredarnya foto Adian tertidur dalam rapat paripurna DPR. Sebagai sosok yang dikenal galak mengkritik kemalasan elite, potret itu menjadi ironi yang tajam. Adian buru-buru membantah, menyebut dirinya hanya “leyeh-leyeh” sambil berpikir. Namun publik sudah terlanjur mencium aroma kontradiksi antara citra dan perilaku. Apalagi insiden itu terjadi saat ia baru menapak karier di Senayan. (Kompas, 2014)

Kontroversi BUMN: Ketika ‘Titipan’ Jadi Kepentingan

Pada 2020, Adian mengguncang jagat BUMN lewat tudingan kerasnya: ada 6.200 orang “titipan” yang masuk ke pos-pos strategis perusahaan negara. Ia mendesak Menteri BUMN Erick Thohir untuk membuka proses rekrutmen secara transparan. Namun di sisi lain, kabar yang santer beredar menyebut bahwa Adian sendiri sempat marah besar karena beberapa “nama titipan”-nya gagal diloloskan. Kritik tentang nepotisme pun menjadi bumerang—menohok balik pada integritas sang politisi. (Kompas, 2020)

Aksi Ojol 20 Mei: Advokasi Rakyat atau Manuver Politik?

Menjelang aksi nasional pengemudi ojek online (ojol) bertajuk “Aksi 205” pada 20 Mei 2025, Adian kembali tampil di garis depan. Ia menyuarakan tuntutan pemotongan tarif aplikator maksimal 10 persen dan menyatakan bahwa perjuangan ini adalah soal keadilan bagi para driver. Ia terlihat bersama beberapa komunitas ojol, seolah mempertegas keberpihakannya. (Kompas, 2025)

Namun sejumlah pengamat menilai aksi ini tak sepenuhnya murni. Ada kekhawatiran bahwa keresahan para pengemudi dimobilisasi untuk kepentingan politis, apalagi aksi mogok massal yang direncanakan berpotensi menimbulkan disrupsi layanan dan instabilitas sosial. Ketika sentimen publik dibajak demi pencitraan, maka yang dikorbankan adalah rakyat itu sendiri. (Bisnis Indonesia, 2025)

Catatan Akhir: Citra, Konsistensi, dan Publik yang Melek

Adian Napitupulu tetaplah sosok penting dalam wacana politik Indonesia. Ia berbicara tentang rakyat kecil, menghadirkan suara-suara yang jarang terdengar di ruang kekuasaan. Namun di dunia politik yang penuh tarik-menarik kepentingan, konsistensi menjadi barang langka. Dan publik hari ini—dengan nalar yang lebih tajam—tak hanya menilai dari apa yang dikatakan, tetapi dari apa yang dilakukan.

Karena di ujung hari, seorang “pejuang rakyat” bukan hanya harus vokal, tetapi juga jujur pada prinsip yang ia serukan.