Tangerang, Banten – Proyek Pengembangan PIK-2 yang tengah berlangsung di kawasan pesisir Tanjung Burung dan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, telah menyebabkan kerusakan ekologis yang parah sekaligus mengancam keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Dalam laporan yang diperoleh dari pertemuan dengan tokoh masyarakat setempat pada 23 Juli 2025, berbagai dampak negatif dari proyek ini terungkap, yang tidak hanya menghancurkan ekosistem pesisir, tetapi juga merugikan secara langsung mata pencaharian masyarakat yang telah mengais rezeki di kawasan tersebut selama bertahun-tahun.

Pembangunan Proyek PIK-2: Penyebab Kehilangan Mata Pencaharian Nelayan

Sejak dimulainya proyek ini, masyarakat Tanjung Burung, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan budidaya, telah kehilangan sumber penghidupan mereka. PT. ASG, sebagai pengembang proyek PIK-2, telah membeli tanah warga yang sebelumnya digunakan untuk tambak garapan dengan harga sangat murah. Ancaman Proyek Strategis Nasional (PSN) semakin memaksa warga untuk menerima tawaran tersebut, meski mereka tahu bahwa hal itu akan menghancurkan kehidupan mereka. Banyak nelayan yang kini menganggur, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, dan harus hidup dalam ketidakpastian.

Bagi nelayan tangkap dan bagan, pengurusan pesisir pantai yang dilakukan oleh proyek ini memaksa mereka untuk mengeluarkan biaya dua kali lipat lebih mahal untuk bahan bakar karena harus menjauh dari bibir pantai yang penuh dengan sisa pagar laut dan bambu patah yang ditinggalkan. Banyak perahu nelayan yang rusak akibat sampah konstruksi yang tersisa, sedangkan hasil tangkapan pun terus menurun akibat kerusakan ekosistem pesisir.

Pengurukan Pantai Tanjung Burung: Kerusakan Lingkungan yang Tak Terkendali

Salah satu langkah pengembang yang paling merusak adalah pengurukan bibir pantai Tanjung Burung yang saat ini masih terus berlangsung. PT. ASG telah mengambil alih tanah masyarakat dan bekas tambak warga untuk dijadikan tanah urukan, yang secara langsung menghancurkan habitat alami pesisir. Proses pengurukan ini tidak hanya merusak ekosistem mangrove yang vital sebagai penahan abrasi, tetapi juga menyebabkan keruhnya air laut dan sedimentasi yang parah. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan terus menurun, dan kawasan pesisir yang dulunya kaya akan kehidupan laut kini menjadi area yang tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

Lebih parahnya lagi, pengurukan ini tidak hanya terbatas pada lahan milik warga, tetapi kini telah merambah tanah negara, yaitu kawasan milik KKP, yang akan dijadikan fasilitas umum dan jalan lingkaran pantai untuk menghubungkan proyek PIK-2 dengan Jalan Tol. Proyek ini jelas mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan mengancam masa depan nelayan serta kelestarian pesisir.

Relokasi yang Tidak Jelas dan Ketegangan Sosial yang Meningkat

Sementara itu, warga Tanjung Pasir dan Tanjung Burung merasa terjebak dalam situasi yang semakin tidak pasti. Mereka dijanjikan relokasi ke tempat yang belum jelas, dengan 230 KK yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan mengenai waktu dan tempat relokasi. Uang ganti rugi yang diterima warga untuk bangunan mereka telah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, meninggalkan mereka dalam kondisi sangat sulit. Ketidakjelasan ini semakin memperburuk situasi dan memperparah ketegangan sosial.

Selain itu, ketegangan antara warga Tanjung Pasir dan penghuni baru perumahan PIK-2 semakin meningkat. Warga lokal dituduh menyebabkan gangguan melalui pembakaran sampah yang dianggap mengganggu kenyamanan penghuni perumahan. Konflik horizontal ini menunjukkan ketegangan yang semakin memuncak antara masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan ini dan kelompok baru yang datang dengan dukungan proyek besar.

Proyek PIK-2: Pengabaian terhadap Keadilan Sosial dan Lingkungan

Proyek PIK-2, yang diklaim sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), tampaknya lebih fokus pada keuntungan pengembang dan kepentingan segelintir pihak, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Proyek ini secara terang-terangan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Masyarakat lokal telah dipaksa menerima kerugian besar tanpa diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Proses relokasi yang tidak jelas dan rusaknya lingkungan pesisir menunjukkan ketidakpedulian terhadap hak-hak warga dan kelestarian alam.

Potensi Konflik Sosial yang Tak Terhindarkan

Jika tidak segera diambil tindakan yang tepat, konflik sosial yang lebih besar akan sulit dihindari. Ketidakpuasan masyarakat yang kehilangan mata pencaharian dan hak mereka untuk hidup layak, serta kerusakan ekosistem yang telah terjadi, dapat memicu ketegangan yang lebih luas. Konflik vertikal antara masyarakat dan pengembang, serta konflik horizontal antara warga lokal dan penghuni baru, semakin mengancam stabilitas sosial dan keamanan di kawasan tersebut.

Solusi: Menuntut Pertanggungjawaban Pengembang dan Pemerintah

Proyek PIK-2 harus segera dievaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap perencanaan dan pengambilan keputusan. Pendampingan hukum bagi masyarakat sangat diperlukan untuk melindungi hak-hak mereka yang telah dilanggar oleh proyek ini. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proyek ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Jika langkah-langkah yang transparan dan adil tidak segera diambil, proyek PIK-2 dapat menjadi contoh buruk dari pembangunan yang merusak, yang hanya menguntungkan pengembang dan mengabaikan kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan.