Bekasi — Sengketa lahan seluas 48 hektar di Jatikarya, Kota Bekasi, kini menjadi medan tempur terbuka antara institusi pertahanan negara dan jaringan mafia tanah yang semakin berani dan terorganisir. Nilai lahan ini ditaksir mencapai Rp10 triliun, namun ironisnya, negara harus berjuang di pengadilan untuk mempertahankan hak atas aset yang secara administratif sudah diakui sebagai milik negara sejak era Orde Baru.
Dalam sidang ke-25 Perkara Pidana No. 484/Pid.B/2023/PN.Bks di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, kuasa hukum Mabes TNI, Weni Okianto, SH, MH, memberikan kesaksian penting yang menegaskan posisi negara atas lahan tersebut. Ia menyebut Mabes TNI telah memenangkan perkara perdata terkait lahan ini di tingkat pertama (Perkara 191/Pdt.G/2020/PN.Bks), namun kekuatan mafia tanah tak berhenti di meja hijau. Mereka terus melancarkan strategi hukum tandingan, memobilisasi warga, hingga melakukan transaksi jual-beli ilegal di atas lahan negara.
Bukti Kuat, Tapi Eksekusi Lemah
Lahan Jatikarya tidak bersertifikat, namun diakui oleh BPN Kota Bekasi sebagai tanah negara yang belum dibebaskan. Negara juga telah menyertakan dokumen girik, surat pelepasan hak, hingga kwitansi pembayaran tahun 1960-an. Semua bukti ini sudah cukup untuk mengalahkan klaim sepihak para “ahli waris dadakan” yang dimobilisasi oleh kuasa hukum H. Dani Bahdani.
Namun yang menjadi soal bukan lagi soal hukum, melainkan eksekusi. Negara kalah bukan karena tak punya bukti, tetapi karena tidak menindaklanjuti putusan pengadilan dengan pengamanan dan pengosongan fisik. Tanpa tindakan nyata, putusan hanyalah dokumen tanpa daya.
Modus Lama, Jaringan Baru
Kesaksian warga seperti Sarim bin Asman dan Asmih binti Nian membuka kedok modus klasik mafia tanah: menyebar surat kuasa ke warga, menggunakan nama “H. Sama’an”, “Nyai Dewi” atau “Nimin” sebagai titik sentral pengumpulan klaim, lalu memfasilitasi gugatan melalui aktor hukum yang menyaru sebagai pembela rakyat.
Pola ini bukan hal baru — kita melihatnya di Cilangkap, Halim, dan bahkan di pinggiran Depok. Tapi yang membedakan kasus Jatikarya adalah objeknya: aset Mabes TNI. Jika bahkan institusi pertahanan negara bisa diserang secara hukum oleh mafia tanah, bagaimana nasib lahan negara lain yang belum bersertifikat?
Google Earth Tak Bisa Bohong
Data citra satelit mengonfirmasi adanya perubahan fisik besar di lokasi: dari tanah kosong (2010) menjadi kawasan hunian, gudang, hingga ruko komersial (2024). Sebagian pembangunan bahkan berlangsung tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sebuah indikasi nyata pembiaran dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
Jatikarya Adalah Simbol Kedaulatan
Bukan hanya Mabes TNI yang diserang — negara sedang diuji. Jika lahan seharga Rp10 triliun bisa direbut dengan girik fotokopian dan surat kuasa bodong, maka Indonesia benar-benar darurat agraria. Mafia tanah tak lagi menyasar petani kecil, tapi menyasar aset strategis milik negara.
Sebagai jurnalis yang telah mengikuti isu ini selama bertahun-tahun, saya berani katakan: jika negara gagal mengeksekusi kemenangan hukum di Jatikarya, maka ini jadi preseden buruk bagi semua aset negara lainnya.
Penutup: Negara Jangan Kalah di Rumah Sendiri
Presiden Joko Widodo sudah berulang kali menegaskan pentingnya pemberantasan mafia tanah. Kini, panggungnya jelas: Jatikarya. Pemerintah pusat, Mabes TNI, Kejagung, dan Pemkot Bekasi harus bersinergi untuk satu hal: penegakan hukum yang tuntas hingga ke eksekusi fisik.
Tanah Jatikarya bukan soal sengketa biasa — ini adalah simbol kedaulatan hukum negara terhadap mafia terorganisir. Dan publik menunggu: apakah hukum bisa menang di tanah airnya sendiri?